Untuk mengukur betapa besarnya pengaruh lingkungan, simaklah Mike Thyson. Ia mempunyai naluri menyerang. Kalau perlu kupingpun digigit pula. Bayangkan, andaikata ia bekerja di kantor pos. Jadi apa dia ? Jika Diding Bagito bertahan sebagai pegawai negri Depkeu, jadi apa dia ? Itulah yang terjadi pada kawan2 kita. Banyak yang berada dilingkungan yang salah.
Idenya sih, gampang. Carilah kekuatanmu dan temukan lingkungan yang sesuai dengan kelebihanmu. Prakteknya susah bukan main. Pertama, kadang kita tidak tahu kelebihan kita. Sudah itu, mendapatkan lingkungan yang sesuai dengan kehendak kita juga cuma mudah diomongin. Ia mungkin memiliki salesmanship yang baKiai tetapi pekerjaan yang diperoleh misalnya jadi pemadam kebakaran. Atau, seseorang yang tidak memiliki naluri bersaing, tiba2 ia harus berkompetisi dengan predator lain.
Faktor external tidak selalu ramah. Generasi saya diuntungkan oleh rezim Orde Baru. Dengan program2 pembangunannya menciptakan banyak sekali peluang2. Waktu itu perusahaan2 datang kekampus merekrut pegawai. Tidak perlu ke warnet cari lowongan. Cukup mejeng dikampus. Ketika terjadi krismon, banyak yang bernasib buruk. Yang terhantam pertama adalah mereka yang prestasinya kurang. Yang prestasinya baKiai ada juga kena PHK. Tetapi, tidak lama kemudian mereka berhasil mendapatkan pekerjaan lagi. Pada akirnya faktor internal memegang peranan penting dalam menghadapi ketidak ramahan faktor external.
Faktor2 external begitu banyaknya. Ada faktor ekonomi, politik, sosial, dll. Lingkungan kerja, suasana dalam perusahaan, dll. Kadang kita terjebak dalam perusahaan yang ambur adul manajemennya. Bagaimana kita mau mengembangkan potensinya, jika keadaan begitu ? Atasan brengsek yang tidak bisa menghargai prestasi kita, adik kena narkoba, dll, dll, yang tak terhitung banyaknya. Mana ada teror, mana dollar njondil2 naik turun sak mauné déwé. Begitu banyaknya faktor2 yang bisa kita salahkan sebagai menghambat karir. Jadi bagaimana kalau sudah begini ? Lagi2, faktor Internal menjadi panglima. Jika dua orang, yang satu FI bagus, yang lain biasa2 saja, berhadapan dengan Faktor External yang tidak ramah, yang mana yang bakal survive ? Jika dua2nya menjumpai FE yang bagus, siapa yang bakal lebih sukses ?
Jika demikian, definisi sukses harus kita simak dengan lebih saksama. Sukses tidak selalu bermakna maju dan makin baik. Misalnya penghasilan dulu 100 sekarang 120, maka ia lumayan sukses. Tetapi jika ia penghasilan turun menjadi 70, apakah ia gagal ? Belum tentu. Jika yang lain anjlog menjadi tinggal 40-50, maka ia tergolong sukses. Jika ia di PHK kloter ke-3, ia lebih sukses dari yang di PHK kloter I. Jika ia mendapat pekerjaan lebih cepat dari rekan2 yang kena PHK, maka ia lebih sukses dari pada yang masih menganggur. Seseorang yang dengan cepat bangkit dari kegagalannya tentunya lebih baik dari kawannya yang me-rengek2 terpuruk dalam keputus asaan.
Apakah jika faktor external tidak ramah, lantas kita angkat bahu dan bilang – habis, bagaimana lagi ? Kita terlalu lemah untuk membuat ekonomi dunia bagus. Kita tidak bisa membuat dollar stabil. Kita tidak bisa mencegah USA serang Irak. Apalagi, politik, sosial, narkoba, terorisme, dll. Sepertinya, ujung2nya, kita tidak ada pilihan lain kecuali senantiasa mengembangkan faktor2 internal supaya menjadi ‘man for all season’, orang yang tahan segala cuaca. Bahasa populer, tahan banting. Dalam keadaan cuaca apapun kita akan membuat kemajuan. Artinya, keadaan faktor eksternal tidak selalu bisa kita jadikan dalih. Disatu sisi kita harus menjaga diri agar tidak terpeleset mudah me-nyalah2kan, mengkambing hitamkan faktor eksternal. Untuk kedok atau dalih menyembunykan kelemahan faktor internal kita. Untuk kamuflase keengganan kita menatap realita; bahwa kita sedang dilanda keputus asaan, kejenuhan, kebosanan, dll. Pengkambing hitaman faktor2 external justru merugikan karena itu memandulkan daya juang kita. Disisi lain, kita juga tidak bisa mempersetankan faktor2 eksternal begitu saja. Jadi bagaimana ?
Idenya sih, gampang. Carilah kekuatanmu dan temukan lingkungan yang sesuai dengan kelebihanmu. Prakteknya susah bukan main. Pertama, kadang kita tidak tahu kelebihan kita. Sudah itu, mendapatkan lingkungan yang sesuai dengan kehendak kita juga cuma mudah diomongin. Ia mungkin memiliki salesmanship yang baKiai tetapi pekerjaan yang diperoleh misalnya jadi pemadam kebakaran. Atau, seseorang yang tidak memiliki naluri bersaing, tiba2 ia harus berkompetisi dengan predator lain.
Faktor external tidak selalu ramah. Generasi saya diuntungkan oleh rezim Orde Baru. Dengan program2 pembangunannya menciptakan banyak sekali peluang2. Waktu itu perusahaan2 datang kekampus merekrut pegawai. Tidak perlu ke warnet cari lowongan. Cukup mejeng dikampus. Ketika terjadi krismon, banyak yang bernasib buruk. Yang terhantam pertama adalah mereka yang prestasinya kurang. Yang prestasinya baKiai ada juga kena PHK. Tetapi, tidak lama kemudian mereka berhasil mendapatkan pekerjaan lagi. Pada akirnya faktor internal memegang peranan penting dalam menghadapi ketidak ramahan faktor external.
Faktor2 external begitu banyaknya. Ada faktor ekonomi, politik, sosial, dll. Lingkungan kerja, suasana dalam perusahaan, dll. Kadang kita terjebak dalam perusahaan yang ambur adul manajemennya. Bagaimana kita mau mengembangkan potensinya, jika keadaan begitu ? Atasan brengsek yang tidak bisa menghargai prestasi kita, adik kena narkoba, dll, dll, yang tak terhitung banyaknya. Mana ada teror, mana dollar njondil2 naik turun sak mauné déwé. Begitu banyaknya faktor2 yang bisa kita salahkan sebagai menghambat karir. Jadi bagaimana kalau sudah begini ? Lagi2, faktor Internal menjadi panglima. Jika dua orang, yang satu FI bagus, yang lain biasa2 saja, berhadapan dengan Faktor External yang tidak ramah, yang mana yang bakal survive ? Jika dua2nya menjumpai FE yang bagus, siapa yang bakal lebih sukses ?
Jika demikian, definisi sukses harus kita simak dengan lebih saksama. Sukses tidak selalu bermakna maju dan makin baik. Misalnya penghasilan dulu 100 sekarang 120, maka ia lumayan sukses. Tetapi jika ia penghasilan turun menjadi 70, apakah ia gagal ? Belum tentu. Jika yang lain anjlog menjadi tinggal 40-50, maka ia tergolong sukses. Jika ia di PHK kloter ke-3, ia lebih sukses dari yang di PHK kloter I. Jika ia mendapat pekerjaan lebih cepat dari rekan2 yang kena PHK, maka ia lebih sukses dari pada yang masih menganggur. Seseorang yang dengan cepat bangkit dari kegagalannya tentunya lebih baik dari kawannya yang me-rengek2 terpuruk dalam keputus asaan.
Apakah jika faktor external tidak ramah, lantas kita angkat bahu dan bilang – habis, bagaimana lagi ? Kita terlalu lemah untuk membuat ekonomi dunia bagus. Kita tidak bisa membuat dollar stabil. Kita tidak bisa mencegah USA serang Irak. Apalagi, politik, sosial, narkoba, terorisme, dll. Sepertinya, ujung2nya, kita tidak ada pilihan lain kecuali senantiasa mengembangkan faktor2 internal supaya menjadi ‘man for all season’, orang yang tahan segala cuaca. Bahasa populer, tahan banting. Dalam keadaan cuaca apapun kita akan membuat kemajuan. Artinya, keadaan faktor eksternal tidak selalu bisa kita jadikan dalih. Disatu sisi kita harus menjaga diri agar tidak terpeleset mudah me-nyalah2kan, mengkambing hitamkan faktor eksternal. Untuk kedok atau dalih menyembunykan kelemahan faktor internal kita. Untuk kamuflase keengganan kita menatap realita; bahwa kita sedang dilanda keputus asaan, kejenuhan, kebosanan, dll. Pengkambing hitaman faktor2 external justru merugikan karena itu memandulkan daya juang kita. Disisi lain, kita juga tidak bisa mempersetankan faktor2 eksternal begitu saja. Jadi bagaimana ?
Lanjutken ke 11. Man for all season
1 comment:
wah,isi blognya benar2 bagus.
Saya baca dari rajah tangan (untung saya tergolong jamapa,hahaha,alhamdulillah)
sampai ke kunci sukses,semua benar2 bagus. Keep this blog alive ki ! *in positive way ofcourse
Post a Comment