3. Bener vs Pener

Minggu lalu telah kita bicarakan ketidak pastian yang dihadapi E. Tidak jelas harga pasar, laba berapa, jual dimana, siapa yang beli, dll. Serba grambyangan. Berkebalikan dengan M yang serba memastikan yang nggrambyang2 tadi menjadi terukur, yang berujung pada keteraturan, stabilitas, dan kesinambungan.

Pada saat kita berada dijajaran manajemen papan bawah yang penting adalah do things right, mengerjakan dengan se-baik2nya. Pada saat posisi makin tinggi, kita dituntut untuk do right things, mengerjakan hal yang tepat. Dalam bahasa Jawa yang pertama disebut bener, yang kedua disebut pener. Apa bedanya ? Temu bertugas untuk menjual kompor sesuai target Gemblong. Temu sebagai M harus mengerjakan dengan benar, sesuai prosedur, sesuai jadwal, sesuai harga, dll. Tetapi, apakah menjual kompor disitu sudah tepat ? Bukan jual VCD ? Keputusan menjual apa, menjadi tindakan yang tepat / keliru.

Dijajaran bawah, sikap yang dituntut adalah melaksanakan dengan se-baik2nya. Terkadang karena tugas2 kegampangen kita jadi asal2an, aras2en, asal2an dan sejadinya. Bukan karena tidak mampu, malahan sering karena overqualified. Sebelum kita melakukan tindakan2 yang tepat, yang bermakna strategis, kita dituntut untuk memiliki sikap mengerjakan dengan baik & benar. Kesalahan2 elementer yang banyak dilakukan peniti karir muda adalah menyepelekan, menggampang kan, dan tak sepenuh hati melaksanakan.

Lagi2 ini menjelaskan mengapa kawan2 yang keliatannya biasa2 saja bisa merayap lebih cepet. Karena ia well done, ia tuntas, selalu mengerjakan dengan se-baik2nya. Jika anda mengerjakan asal2an dan beruntung naik ketingkat yang lebih tinggi maka anak2 buah anda akan ikut2an bekerja asal2an, jadinya tidak well done dan akirnya ambyar. Organisasi2 yang sederhana, semacam kantor pos, DHL, Tiki, dan sejenisnya sangat membutuhkan mengerjakan dengan baik & benar. Pada organisasi2 yang komplex dan besar, sifat mengerjakan se-baik2nya lebih dihargai ketika anda berada pada jajaran yang belum tinggi.

Saya pernah mengalami itu, masa cuma disuruh ngitungin pipe fitting yang jumlahnya ribuan. Emangnye gue klerk ? Sambil misóh2 saya kerjakan se-baik2nya. Akibatnya ketika saya punya anak buah, saya punya wibawa karena bisa ‘memaksa’ staf2 saya bekerja dengan se-baik2nya. Akibatnya tugas2 saya, yang notabene kerja staff2, selalu well done. Jika sudah begitu, we can do right things lebih gampang. Jika input sampah, maka outputnyapun. Jika hasil kerja staff asal2an, yang kita hasilkan juga sampah.

Siapapun yang ingin menyesatkan diri kemanajemen lebih atas, sebaiknya ‘berinvestasi’ dengan mengerjakan tugas se-baik2nya, apapun itu. Ketika kita terpelanting keatas, kita tinggal memetik buah masa lalu. Batu sandungan yang sering diderita peniti karir adalah di L. Salah satu sumber kewibawaan untuk memimpin adalah memberi contoh (bagaimana mengerjakan yang se-baik2nya). Jika kerja saja asal2an, bagaimana mau kasi conto ?
Ketika kita sudah merayap keatas, kita berhadapan dengan do right things. Dan anda sulit sampai kesitu jika mengerjakan dengan se-baik2nya saja tidak becus. Jika kita keatas maka faktor kecerdasan, kreativitas, dll, menjadi penting. Atau, jam terbang yang tinggi plus sikap kerja yang positip.

Syahdan, karena Temu bekerja dengan baik & benar serta Gemblong telah melakukan tindakan yang tepat, kompornya laris dan dalam setahun sudah mapan. Temu mulai punya anak buah karena jualannya tambah banyak. Dari one man show, menjadi organisasi sederhana.
Organisasi Gemblong, sudah bukan lagi organisasi entrepreneural. Ini sudah menjadi organisasi managerial. Sebab, entrepreneural by definition hanya sebatas initiating atau merintis. Penggalangan suday yang semula dilakukan E sudah diambil alih M.

Suplemen Managerialship [3]
Lembar ini adalah sisipan seri Managerialship untuk definisi2 tambahan, keterangan2, kelengkapan2, dll yang cukup dibaca sekali lantas di delete.

Sumber daya = suday
Suday atau resources buanyak sekali, tetapi yang terpokok adalah M-lima, yaitu Manpower, Machine, Material, Method, dan Money. Manpower adalah SDM, Machine mulai dari perkakas2 tangan, mesin2, pabrik2, sampai kilang2. Material adalah mulai dari bahan mentah, setengah jadi sampai barang2 siap pakai. Method adalah sistim, mulai dari sistim akuntansi, QA/QC, sistim pemasaran, sop (standard operating procedure), aturan perburuhan, perpajaan expor impor, dll. Termasuk keahlian, kecakapan, kepakaran, dll. Money, mulai uang gajian, modal kerja, kas, utang, piutang, surat2 berharga, lc, dll.
Diluar itu masih banyak, semisal merek, property, good will, sekuritas, koneksi, dll, dll.

Pembatasan
Artikel ini semula untuk manajemen menengah keatas tetapi saya rubah menjadi manajemen menengah kebawah karena mayoritas pembaca pada usia 25-35. Jika bicara eksekutip puncak, jadinya mbalah jauh panggang dari api. Walau bisa diterapkan pada manajemen apapun, artikel ini untuk organisasi komersial. Skala adalah organisasi menengah dan perlu penyesuaian2 untuk organisasi2 besar & komplek.

Ini bermanfaat bagi mereka yang berada dalam jajaran M, Entrepreneur, Copreneur, dan Intrapreneur skala menengah kebawah. Mereka yang memilih Xpreneur bisa menyimak untuk mencari karakter2 M serta kesalahan2 umum yang dilakukan E. Banyak usaha2 yang harusnya organisasi manajerial dijalankan dengan gaya entrepreneural. Ada juga usaha berjalan lumayan bagus tetapi mandeg, jalan ditempat dan kurang berkembang karena miskinnya sifat E.

Pilihan2 Karir
1. Sebagai pakar, ahli, teknisi, profesional, sebangsa dosen, dokter, notaris, pengacara, dll, dilingkungan perusahaan.
2. Sebagai Self-made-man. Bisnis sendiri dengan konsep non manajerial tetapi berbasis skill atau profesional. Sebangsa praktek dokter, pengacara, notaris, bengkel reparasi.
3. Karir Manajemen, dari Manajer Fungsional sampai ke top Eksekutip.
4. Sebagai Xpreneur : pilihan2/kesempatan2 sebagai E, Intrapreneur, Copreneur, dan Investor.
5. Kombinasi2. Self-made plus E atau M. M plus nyambi2. E merangkap sebagai M. Dll.
6. Dll.

Lanjutken ke 4. Matrix M & E

No comments:

 

Friends

Inspirasi dan Motivasi Copyright © 2009 BeepTheGeek is Designed by Gaganpreet Singh